POTRET PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA
POTRET PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA
Hingga saat ini, pandangan banyak ahli ekonomi pembangunan terhadap pembangunan ekonomi masih diwarnai oleh dikotomi antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Masih adanya kontroversi antara mana yang lebih dahulu untuk dilakukan dan dicapai, pertumbuhan ekonomi atau pemerataan pembangunan. Kontroversi tersebut muncul disebabkan karena penerapan strategi pembangunan ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan (growth) dan pemerataan (equity) belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Namun demikian, para ekonom sependapat bahwa pembangunan merupakan suatu proses, yakni proses untuk mencapai kemajuan. Proses membutuhkan input sumber daya untuk ditransformasikan menjadi sebuah hasil. Jika input tidak memadai, tentu akan menghasilkan output yang tidak optimal. Menurut Siagian (1994), pembangunan sesungguhnya suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan berencana dan dilakukan secara sadar oleh bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Secara umum, pembangunan dapat diartikan pula sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi.
Dengan definisi pembangunan tersebut, pembangunan sejatinya merupakan pencerminan kehendak dan partisipasi rakyat untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (Indonesia) secara adil dan merata serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis. Semua itu bisa terlaksana dengan baik jika ada perencanaan, koordinasi, partisipasi publik, kelembagaan, dan sistem hukum yang baik yang menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Berbagai perspektif pembangunan tersebut merujuk kepada gelombang besar terminologi: minimalisasi peran pemerintah dan maksimalisasi peran swasta, seperti tulisan Osborne-Gaebler-Plastrik dalam Reinventing Government (1993) dan Banishing Bereaucracy (1997) hingga Amartya Sen dalam Development as Freedom (2000). Gelombang privatisasi pembangunan tersebut muncul seiring pendekatan good governance, pemberdayaan, gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pendekatan partisipatoris hingga masyarakat madani (Harun, 2007: 15-16)
Melihat elemen-elemen pembangunan tersebut, maka sebenarnya pembangunan mencakup jauh lebih banyak aspek. Bahwa pembangunan menuntut pendapatan per kapita yang lebih tinggi adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Namun, pembangunan yang mereduksi nilai-nilai dasar kemanusiaan dan menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya indikator pembangunan justru mereduksi makna pembangunan itu sendiri.
Dalam kaitan itu, konsep pembangunan yang diintroduksi Amartya Sen dalam Development as Freedom (2000) telah membantah pandangan tersebut. Dalam studinya, Sen merumuskan kembali pengertian yang menyeluruh tentang pembangunan. Dalam dataran ini, Sen merumuskan pengertian kembali kemiskinan. Dalam pandangannya, berbagai kondisi, selain kekurangan pangan, seperti kurangnya nutrisi, buta huruf, tiadanya kebebasan sipil dan hak-hak berdemokrasi, diskriminasi, pengidapan penyakit, dan berbagai bentuk perampasan hak-hak milik (entitlement) pribadi adalah bentuk-bentuk kemiskinan yang menciptakan penderitaan. Di sini lah Sen merumuskan definisi baru pembangunan sebagai kebebasan (development as freedom) (Rahardjo dalam Sen, 2001: xiv-xv).
Argumentasi Sen tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, kendati sebagian orang berhasil menikmati kemakmuran, namun kualitas hidup masih tetap jauh dari jangkauan banyak orang. Kendati hampir selama dua dasawarsa pertumbuhan ekonomi yang pesat terjadi di sejumlah negara, namun banyak orang lain tidak mendapatkan keuntungan dari kemajuan tersebut. Dalam banyak situasi, kebijakan pembangunan ternyata lebih menguntungkan vested interest kaum elite, sehingga dengan demikian tidak mempromosikan investasi yang memadai dalam modal manusia dan modal alam, yang sangat esensial bagi pertumbuhan berbasis luas. Kualitas faktor-faktor yang memberikan kontribusi bagi pertumbuhan menuntut perhatian fundamental apabila kemiskinan ingin dikurangi dan kualitas hidup yang lebih baik dapat dicapai oleh semua orang (Thomas, et.al., 2001: xvi).
Untuk alasan tersebut, perhatian Sen terletak pada pentingnya redistribusi aset non-fisik, seperti kesehatan dan pendidikan. Oleh sebab itu, masalah paling besar dalam soal redistribusi aset adalah bagaimana meluaskan dan memperbaiki akses pendidikan bagi mayoritas penduduk yang kurang mampu. Redistribusi aset non-fisik inilah yang masih menjadi pertanyaan mendasar dalam proses pembangunan di Indonesia. Para ekonom masih berkutat soal redistribusi aset fisik (Basri, dalam Wie, 2004: xvii)
Definisi Pembangunan
Istilah pembangunan seringkali digunakan dalam hal yang sama dengan pengembangan. Sehingga istilah pembangunan dan pengembangan (development) dapat saling dipertukarkan. Namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Meski demikian, sebenarnya secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses-proses yang selama ini secara universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau development (Rustiadi, 2006: vii-1).
Ada yang berpendapat bahwa kata “pengembangan” lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari “nol”, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas (Rustiadi, 2006: vii-1).
Sumitro (1994) mendefinisikan pembangunan sebagai “suatu transformasi dalam arti perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktur ekonomi diartikan sebagai perubahan dalam struktur ekonomi masyarakat yang meliputi perubahan pada perimbangan keadaan yang melekat pada landasan kegiatan ekonomi dan bentuk susunan ekonomi. Menurut penulis, pemahaman Sumitro ini terkait dengan pandangan Arthur Lewis (1954) tentang pentingnya transformasi struktur ekonomi pertanian ke struktur ekonomi industri dalam upaya menuju pertumbuhan (dalam aspek ini pengertian pertumbuhan asosiatif dengan pembangunan) ekonomi.
Dalam pada itu, Budiman (1995) membagi teori pembangunan ke dalam tiga kategori besar yaitu teori modernisasi, dependensi dan pasca-dependensi. Teori modernisasi menekankan pada faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan.
Kategori ini dipelopori orang-orang seperti (a) Harrod-Domar dengan konsep tabungan dan investasi (saving and investation), (b) Weber dengan tesis etika protestan dan semangat kapitalisme (the protestant ethic and the spirit of capitalism), (c) McClelland dengan kebutuhan berprestasi, (d) Rostow dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi (the five stage of economics growth), (e) Inkeles dan Smith dengan konsep manusia modern, serta (f) Hoselitz dengan konsep faktor-faktor non-ekonominya.
Di lain sisi, Kartasasmita (1996) menyatakan, pembangunan adalah “usaha meningkatkan harkat martabat masyarakat yang dalam kondisinya tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Membangun masyarakat berarti memampukan atau memandirikan mereka”.
Menurut Tjokrowinoto (1997), batasan pembangunan yang nampaknya bebas dari kaitan tata nilai tersebut dalam realitasnya menimbulkan interpretasi-interpretasi yang seringkali secara diametrik bertentangan satu sama lain sehingga mudah menimbulkan kesan bahwa realitas pembangunan pada hakikatnya merupakan self project reality.
Secara filosofis, suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik” (Rustiadi, 2006: vii-1). Di lain sisi, UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai “suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices) (dalam Rustiadi, 2006: vii-1). Dalam konsep tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagaimana dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu.
Menurut Todaro (2003: 28) pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin – melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi, dan institusional – demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Karena itu, proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti, yaitu: pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan. Kedua, peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Ketiga, perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan.
Pandangan Todaro merupakan pengembangan pemahaman atas pandangan Sen tentang pembangunan. Sen memaknai pembangunan sebagai kebebasan. Pembahasan pandangan pembangunan sebagai kebebasan Sen dibahas dalam sub bab di bawah ini.
Di Indonesia, istilah pembangunan sudah sejak lama menjadi terminologi sehari-hari. Terminologi yang erat kaitannya dengan pembangunan dikenal konsep Delapan Jalur Pemerataan yang merupakan penjabaran dari Trilogi Pembangunan. Delapan jalur pemerataan yang dimaksud adalah pemerataan dalam hal: (1) pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, berupa pangan, sandang dan perumahan; (2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pembagian pendapatan; (4) kesempatan kerja; (5) kesempatan berusaha; (6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) penyebaran pembangunan; dan (8) kesempatan memperoleh keadilan (Syahyuti, 2006: 166-167).
Mengacu pada berbagai definisi pembangunan di atas, maka para ekonom merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan. Dudleey Seer dalam Todaro (2003) merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan sebagai berikut: a) Tingkat ketimpangan pendapatan; b) Penurunan jumlah kemiskinan; c) Penurunan tingkat pengangguran.
Ketiga ukuran keberhasilan di atas jika disimak lebih dalam adalah menuju satu sasaran akhir yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat berarti menurunnya kemiskinan (Amir, 2007: 147).
Selain itu, PBB juga telah merumuskan indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs), yang terdiri dari delapan indikator capaian pembangunan, yakni: (a) penghapusan kemiskinan; (b) pendidikan untuk semua; (c) persamaan gender; (d) perlawanan terhadap penyakit menular; (d) penurunan angka kematian anak; (e) peningkatan kesehatan ibu; (f) pelestarian lingkungan hidup; (g) kerjasama global (www.undp.or.id)
Konsep Kapabilitas Berfungsi Amartya Sen
Sen mendefinisikan “kapabilitas” sebagai “kebebasan yang dimiliki seseorang dalam arti pilihan functioning, dengan fitur-fitur personal yang dimilikinya (perubahan karakteristik menjadi functioning), dan kontrol yang dimilikinya terhadap komoditi…” (Todaro, 2003: 24).
Seperti dalam mikro ekonomi dasar, penghasilan hanya akan memiliki makna jika penghasilan tersebut dapat meningkatkan utilitas, dan utilitas itu sendiri penting karena menunjukkan kapabilitas seseorang. Dan tentu saja, kapabilitas sebagian ditentukan oleh pendapatan (Todaro, 2003: 24).
Perspektif yang ditawarkan Sen membantu memperjelas mengapa para ahli ekonomi pembangunan telah menempatkan penekanan yang begitu jelas terhadap kesehatan dan pendidikan, dan menyebut negara-negara yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi tetapi memiliki standar kesehatan dan pendidikan yang rendah sebagai kasus “pertumbuhan tanpa pembangunan”. Pendapatan riil memang sangat penting, tetapi untuk mengkoversikan karakteristik komoditi menjadi fungsi yang sesuai, dalam banyak hal yang penting, jelas membutuhkan kesehatan dan pendidikan selain pendapatan. (Todaro, 2003: 25)
Menurut Wie (2004: 9), perspektif kemampuan (kapabilitas) Sen dalam batas tertentu merujuk pada pendekatan pembangunan ekonomi-sosial terpadu sebagaimana dibahas oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations dan The Theory of Moral Sentiments. Dalam menganalisis kemungkinan-kemungkinan produksi, Smith memang menekankan pentingnya peranan pendidikan maupun pembagian kerja, belajar dengan bekerja dan pengasahan keterampilan.
Dengan kata lain, lanjut Wie (2004: 9), yang diperhatikan adalah cara agar manusia menjadi lebih produktif sepanjang waktu sehingga memberikan sumbangan yang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Perspektif ini memfokuskan perhatian kepada kemampuan atau kebebasan substantif semua orang untuk menempuh kehidupan yang menjadi idaman dan meningkatkan pilihan-pilihan riil yang ada.
Konsep Kapabilitas Berfungsi mencakup tiga aspek kunci (Sen, 2000), yaitu:
a. Kecukupan, yang meliputi kecukupan atas kebutuhan-kebutuhan dasar.
b. Harga diri, yang mencakup dorongan dari diri sendiri untuk maju, menghargai diri sendiri, jati diri sebagai negara dan masyarakat timur dan lain sebagainya.
c. Kebebasan dari sikap menghamba. Komponen kebebasan manusia melingkupi segenap komponen antara lain: kebebasan politik, keamanan diri pribadi, kepastian hukum, kemerdekaan berekspresi, partisipasi politik dan pemerataan kesempatan serta pembangunan anti bias perempuan.
“Kebebasan politik” memang menjadi perhatian penting Sen. Namun demikian, ia bukanlah satu-satunya kebebasan instrumental. Kebebasan instrumental lain mencakup “fasilitas ekonomi” (peluang untuk memanfaatkan berbagai sumber ekonomi dengan tujuan konsumsi, produksi dan akses kepada uang), peluang sosial (program pendidikan dan kesehatan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, yang menjadikan seseorang memiliki kebebasan substantif agar dapat hidup lebih baik, “jaminan transparansi” (berkenaan dengan kebutuhan akan keterbukaan, termasuk hak mengungkapkan fakta guna mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme), dan “jaminan perlindungan” (memberikan jaringan pengaman sosial kepada orang-orang yang menanggung kemiskinan bukan karena kesalahan sendiri, misalnya akibat krisis ekonomi).
Pembangunan Ekonomi di Indonesia: Di Jalur Yang Benar?
Bagian ini akan mendeskripsikan potret pembangunan Indonesia perspektif Konsep Kapabilitas Berfungsi Amartya Sen. Data-data di bawah ini menggunakan sepenuhnya menggunakan data-data yang dipublikasi oleh BPS, UNDP dan beberapa lembaga lainnya. Data-data yang tersedia hanya sampai pada tahun 2006. Berikut ini gambaran masing-masing aspek-aspek
Data BPS menunjukkan, persentase pengeluaran rumah tangga (RT) untuk makanan pada 2004 mencapai 54,59 persen menurun menjadi 51,37 persen pada 2005 dan naik lagi menjadi 53,01 persen pada 2006. Pengeluaran ini untuk makanan ini erat kaitannya dengan distribusi pendapatan masyarakat. Seiring dengan itu, 40 persen populasi berpendapatan rendah juga fluktuatif pada tahun 2004, 2005 dan 2006, yang masing-masing 20,80 persen, 18,81 persen dan 19,75 persen.
Sementara pengeluaran RT untuk non-makanan pada 2004, 2005 dan 2006 masing-masing 45,42 persen, 48,63 persen, dan 46,99. Data ini menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi RT di Indonesia lebih besar dibandingkan pengeluaran non-makanan. Data ini mencirikan bahwa Indonesia memang masih negara sedang berkembang, dimana pengeluaran makanan (autonomous consumtion) lebih besar dibanding dengan pengeluaran non-makanan (liburan, dll).
Oleh karena itu, tantangan memenuhi kebutuhan dasar, khususnya kebutuhan makanan dihadapkan pada masalah dan tantangan sebagai berikut.
1. Menjaga kegiatan ekonomi nasional yang pro rakyat agar dapat mendorong turunnya angka kemiskinan. Termasuk di dalamnya ialah menjaga kondisi ekonomi makro agar dapat mendorong kegiatan ekonomi riil yang berpihak pada penanggulangan kemiskinan. Upaya menjaga inflasi agar tidak menurunkan daya beli masyarakat miskin, termasuk menjaga harga kebutuhan pokok utama seperti beras, menjadi tantangan serius yang harus dihadapi.
2. Meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan gizi; termasuk keluarga berencana, serta akses terhadap infrastruktur dasar seperti sanitasi dan air bersih. Ini merupakan tantangan yang tidak ringan, mengingat secara geografis Indonesia merupakan negara yang sangat luas.
3. Melibatkan masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan kapasitasnya sendiri dalam menanggulangi kemiskinan. Pengalaman menunjukkan bahwa melibatkan serta meningkatkan kapasitas mereka sebagai penggerak dalam penanggulangan kemiskinan terbukti sangat efektif.
4. Belum berkembangnya sistem perlindungan sosial, baik yang berbentuk bantuan sosial bagi mereka yang rentan maupun sistem jaminan sosial berbasis asuransi terutama bagi masyarakat miskin.
5. Adanya kesenjangan yang mencolok antar berbagai daerah (inter-regional disparity). Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari tingkat kedalaman kemiskinan yang sangat berbeda antardaerah satu dengan lainnya. Ditinjau dari proporsinya, tingkat kemiskinan di provinsi-provinsi di luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi tingkat kemiskinan di Jawa. Selain itu kesenjangan dapat dilihat pula dari perbedaan angka indeks pembangunan manusia yang mencolok antardaerah, termasuk antar perkotaan dan perdesaan.
Kesenjangan ini dibuktikan oleh data BPS 2004, 2005 dan 2006. 40 persen populasi ternyata hanya menikmati 20,80 persen, 18,81 persen dan 19,75 persen pendapatan. Tidak sebanding dengan 20 persen penduduk kaya yang bisa menikmati pendapatan 42,07 persen (2004), 44,78 persen (2005), dan 42,15 persen (2006). Itu sebabnya Gini Ratio Indonesia masih bertengger di angka 0,32 (2004), 0,36 (2005) dan 0,33 (2006).
Kebutuhan dasar lain yang penting menurut Sen, yang kemudian diadopsi oleh UNDP sebagai Indeks Pembangunan Manusia (HDI) adalah pendidikan dan kesehatan. Tiga indikator yang terdapat dalam HDI ini, selain pendidikan dan kesehatan adalah kekuatan daya beli (purchasing power parity/PPP) masyarakat.
Khusus untuk pendidikan dan kesehatan, Laporan MDGs 2007 menunjukkan walaupun angka partisipasi kasar tingkat SD/MI maupun SMP/MTs menunjukkan perbaikan, tetapi bila dilihat dari tingkat kelompok pengeluaran rumah tangga, maka terdapat perbedaan antara kelompok rumah tangga miskin dan non-miskin. Pada kelompok pengeluaran terbawah (kuantil 20% terbawah, Q1), APK SD/MI tahun 1995 adalah 104,88 persen dan mencapai 108,92 persen pada tahun 2006. Data tahun 1995 hingga 2006 menunjukkan indikasi bahwasanya APK SD/MI untuk kelompok pengeluaran terbawah ternyata berkembang lebih baik dari APK SD/MI untuk golongan pengeluaran teratas. Peristiwa yang sama juga terjadi pada APK SMP/MTs antara tahun 1995 hingga 2006. APK SMP/MTs tahun 1995 pada kelompok pengeluaran terbawah tercatat 44,39 persen dan menjadi 70,78 persen pada tahun 2006.
Dari uraian di atas terlihat bahwa perbaikan kesejahteraan rumah tangga berpengaruh pada akses terhadap pendidikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak usia sekolah SD dan SMP. Kesenjangan partisipasi pendidikan yang sangat mencolok antara kelompok pengeluaran terbawah (keluarga miskin) dan kelompok pengeluaran teratas (keluarga kaya) ini menunjukkan perlunya peningkatan perhatian pada kelompok keluarga miskin dalam memperoleh akses pendidikan. Hal ini sejalan dengan hasil studi Balitbang Depdiknas pada 2006 yang menemukan bahwa faktor ketiadaan biaya masih dijumpai sebagai alasan penduduk usia sekolah tidak melanjutkan pendidikan mereka (www.depdiknas.go.id).
Dari sisi kesehatan, Angka Kematian Bayi (AKB) menurut proyeksi BPS (BPS-UNDP-Bappenas, 2005), pada tahun 2003 angka AKB terus membaik hingga mencapai 33,9 per 1.000 kelahiran hidup. Meskipun terus menurun, AKB di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina, dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand. Indonesia menduduki ranking ke-6 tertinggi setelah Singapura (3 per 1.000), Brunei Darussalam (8 per 1.000), Malaysia (10 per 1.000), Vietnam (18 per 1.000), dan Thailand (20 per 1.000).
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia telah mengalami penurunan menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 bila dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang mencapai 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Tetapi akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang belum sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat 20.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya. Dengan kondisi ini, pencapaian target MDGs untuk AKI akan sulit dicapai. BPS memproyeksikan bahwa pencapaian AKI baru mencapai angka 163 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, sedangkan target MDG pada tahun 2015 tersebut adalah 102.
Di sisi yang lain Ancaman penularan HIV dan epidemi AIDS telah terlihat melalui data infeksi HIV yang terus meningkat, khususnya di kalangan kelompok perilaku beresiko. Pada tahun 2006, diperkirakan terdapat 169.000-216.000 orang yang terinfeksi HIV. Ahli epidemiologi Indonesia memproyeksikan bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, maka pada tahun 2010 jumlah kasus AIDS akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang dan pada 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Kebanyakan penularan terjadi pada sub populasi berisiko kepada isteri atau pasangannya. Pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu yang HIV positif. Hal ini menunjukkan bahwa HIV dan AIDS telah menjadi ancaman sangat serius bagi Indonesia.
Aspek kebebasan yang dilihat partisipasi politik dan pemerataan kesempatan memperoleh informasi terpampang pada ilustrasi berikut ini. Akses terhadap informasi dapat dilihat dari 3 indikator di atas. Persentase penduduk 10 tahun ke atas yang mendengar radio hanya mencapai 40,26 persen pada 2006, menurun dibandingkan 2003 yang mencapai 50,29 persen. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat yang bisa menikmati/menonton televisi mencapai 85,86 persen meningkat dibandingkan tahun 2003 yang hanya mencapai 84,94 persen. Hal ini sejalan dengan peningkatan pemanfaatan listrik rumah tangga yang mencapai 87,76 persen pada 2006.
Dari sisi partisipasi politik (pemilihan gubernur dan wakil gubernur), catatan Jaringan Pemantau Pemilu untuk Rakyat (JPPR) menunjukkan, dari tahun 2005, 2006, 2007 dan 2008 hanya mencapai rentang 60-70 persen, dengan prosentase sebesar 41 persen. Sementara untuk pemilihan bupati dan walikota di 165 kabupaten/kota pada tahun yang sama mencapai 44 persen dengan tingkat partisipasi sebesar 70-80 persen.
Data ini menunjukkan, bahwa tingkat partisipasi politik masih relatif rendah, tidak sampai 50 persen. Kerendahan tingkat partisipasi politik ini disinyalir berkaitan erat dengan beberapa faktor politik, diantaranya kedewasaan berdemokrasi, sistem politik yang belum bisa mendorong masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam proses politik, kepastian hukum, korupsi yang dilakukan oleh politikus dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Dimensi permasalahan pembangunan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan ketiga aspek kunci dari Konsep Kapabilitas Berfungsi Amartya Sen itu mengharuskan adanya kebijakan menyeluruh serta terukur pencapaiannya. Mengatasi masalah ketiga aspek tersebut akhirnya tidak hanya soal mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin, melainkan lebih penting adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin. Ketiga aspek tersebut dapat dilakukan secara menyeluruh, menyangkut multi-sektor, multi-pelaku, dan multi-waktu.
1. Mendorong pertumbuhan yang berkualitas. Dua aspek penting berkaitan dengan hal ini adalah menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendorong kegiatan ekonomi agar berpihak kepada penanggulangan kemiskinan. Langkah yang perlu diambil antara lain dengan menjaga tingkat inflasi, termasuk menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok seperti beras. Selain itu, diperlukan upaya untuk mendorong penciptaan kesempatan kerja dan berusaha yang lebih luas agar mampu menjangkau masyarakat miskin. Dalam hal ini, revitalisasi pertanian serta usaha mikro, kecil dan menengah—tempat sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya—perlu terus didorong dan dikembangkan.
2. Meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan dan gizi termasuk pelayanan keluarga berencana, serta infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi. Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan dapat dilakukan melalui pemberian beasiswa. Sementara itu, akses terhadap pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui perbaikan infrastruktur kesehatan dan pemberian pelayanan gratis bagi masyarakat miskin, termasuk pelayanan rumah sakit kelas tiga.
3. Menyempurnakan serta memperluas cakupan perlindungan sosial, terutama bagi mereka yang rentan. Pemerintah —selain terus meningkatkan kemampuannya menjangkau bantuan sosial bagi mereka yang rentan seperti kaum cacat, lanjut usia, dan anak terlantar— juga meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai bagian dari upaya membangun sistem perlindungan sosial. Karena itu, kegiatan perlu terus didorong, dimonitoring dan dievaluasi tingkat keberhasilannya.
4. Pemberdayaan politik masyarakat, melalui media sosialisasi yang cerdas, tindak membodohi, tidak memanipulasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Karena itulah, diperlukan kepastian hukum yang mengatur proses pelaksanaan demokrasi (pemilu), sekaligus melindungi para penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan dan berbagai praktik curang lainnya yang mempengaruhi hasil pemilu.
sumber : https://dhidogiya.wordpress.com/ekonomi-pembangunan/potret-pembangunan-ekonomi-di-indonesia/
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar